Menghabiskan waktu istirahat sekolah dg membaca |
SALAM Newsletter |
Kiriman dari 1001 BUKU |
Menghabiskan waktu istirahat sekolah dg membaca |
SALAM Newsletter |
Kiriman dari 1001 BUKU |
Ya libur telah tiba, libur akhir tahun sekaligus libur semester. Perpustakaan komunitas semakin rame jika liburan telah tiba, yang biasanya setiap harinya pengunjung hanya lima orang memasuki hari libur perpus belum buka pun didepan pintu sudah banyak anak-anak kecil yang sudah tidak sabar menunggu pintu perpustakaan dibuka. Padahal jam baru menunjukkan jam 6.30, petugas perpusatakaan belum datang, perpustakaan masih dibersihkan dan pengelola perpustakaan masih sibuk nyuapin makan bayinya tapi melihat begitu antusiasnya para pengunjung penjung komunitas pagi itu akhirnya perpustakaan buka lebih pagi dari biasanya.
Senang sekali rasanya melihat perpustakaan ramai dengan anak-anak kecil yang berebutan buku, ada juga yang duduk dipojokan dengan khusu’ membaca buku cerita dengan terbata-bata dan suara yang nyaring maklum karena anak ini masih kelas 1 SD jadi bacanya belum lancar. Ada juga yang hanya membolak balik halaman buku hanya untuk melihat gambarnya tanpa membaca. Beberapa anak mengembalikan buku yang sudah dibacanya dirumah, kebanyakan mereka meminjam buku seri tokoh kepahlawanan sumbangan dari rumah kenari dan beberapa cerita bergambar tentang pesantren, sumbangan dari common ground.
Jam menunjukkan pukul 09.00 WIB dan perpustakaan semakin ramai karena kedatangan member remaja yang sudah duduk di sekolah lanjutan ataupun yang sudah kuliah. Karena ujian telah usai, jadi semakin banyak saja para member perpustakaan komunitas yang memnijam buku ataupun menghabisakan waktu luan di perpustakaan komunitas. Ada satu hal menarik kemarin, biasanya para member remaja selalu menuju rak majalah remaja ataupun novel pop tapi kemarin ada satu member yang masih duduk di bangku kelas SLTA memnijam novel bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Rasanya takjub sekaligus kaget, dari sekian banyak remaja berkebudayaan facebook ada satu yang masih mau meluangkan waktunya membaca karya sastra indonesia tingkat tinggi. Bahkan dia berjanji pada petugas perpus untuk menyelesaikan membaca novel itu dalam jangka waktu tiga hari, WOW.
Alhamdulillah akhirnya perpustakaan komunitas bisa menyediakan sesuatu yang bermanfaat untuk mengisi waktu liburan para member perpustakaan. Semoga liburan kali ini lebih bermakna dan menyenangkan dengan membaca buku.
HAVE A NICE HOLIDAY DEAR MEMBER COM LIBRARY...
You don’t need to be Bill or Melinda Gates to make the world a better place, with brave and committed figures throughout the world willing positive change in their own communities.
One of those individuals is Nihayatul Wafiroh.
Nihayatul, or Ninik as her friends call her, is a 32-year-old working mom from Banyuwangi, East Java.
She may look like an ordinary woman, but not for the people of Tegalsari village.
In her hometown, Ninik is running a community library where everyone from kids to mothers can gather to read books and magazines.
Ninik established the library in 2009 after she returned from the US with a master’s degree.
“I wanted to do something for my community but I didn’t have enough money to establish a home industry,” she said of her reason for setting up the library.
With a little money, Ninik and her husband built a small library in a 16-square-meter room in her home.
Starting with 500 books, the library now has thousands, mostly from Ninik’s own collection and from donations.
The woman, who works for a non-governmental organization in Jakarta, told The Jakarta Post she spends up to Rp 500,000 (US$55) of her own money every month to buy new books.
But money has never been the issue for Ninik when it comes to running the library.
Her strong commitment to empowering her neighbors, especially women and kids, seems to be her major drive with the library.
Good thing Ninik is not alone, there is also a younger generation that shares the same spirit.
Meet 25-year-old Reza Pahlevi, who established Rumah Kenari, an organization that promotes reading through free book distribution and community libraries.
Reza had the idea with some friends in Surakarta, Central Java, in July of 2008. But, the organization had to cease operating because the members were busy with their own lives, including Reza, who moved to Jakarta for work.
Hoping to continue the mission, Reza, who works as a linguist for a private company, asked his colleague Nurhadianty Rahayu, or Ayu, to start Rumah Kenari again in early 2010.
The new Rumah Kenari has expanded its distribution to Indonesian border areas through partnerships with several organizations. Not only that, the books they have on hand have also increased from dozens to hundreds under Reza and Ayu’s leadership.
The amazing thing about Rumah Kenari is that these young people support the organization with their own money.
Reza told the Post they spend between Rp 500,000 and Rp 1 million every month to buy books.
Both Reza and Ayu don’t seem to mind spending the money as they are looking for something bigger.
“Our motivation is simple: we want to become people who are useful to the community … doing something for their surroundings even though it is small,” Reza said, explaining that such spirit embodied Rumah Kenari, which is a short for Rumah Kecil Namun Berarti (A Small but Meaningful House).
Ninik, Reza and Ayu’s activities demonstrate that doing something for society doesn’t always have to be about giving money, but also about spirit and commitment.
In social work, what the three people are doing is known as do-it-yourself (DIY) volunteering or independent volunteering, where individuals or groups initiate their own volunteer projects.
University of Indonesia social expert Dody Prayogo said the movement emerged from people’s disappointment with the government’s failures to tackle social ills.
“It helps the government to fill its weaknesses,” said Dody, who specializes in community development.
According to Dody, DIY volunteering has existed for a long time in Indonesia, where people have a strong sense of togetherness.
“Romo Mangun and his project at the Code River during the New Order is one example,” Dody said of a DIY volunteering project by the architect that empowered people living along the Code River in
Yogyakarta.
Dody has noticed a recent surge in independent grassroots social movements, pointing out the establishment of non-formal early childhood centers (PAUD) in almost every community stemming from increasing social awareness.
The trend can also be seen in volunteer activities initiated by people following natural disasters, or solidarity movements in response to certain issues on social media.
Yet, DIY volunteering doesn’t always mean people setting up their own initiatives. It can be as simple as volunteering for a foundation.
Twenty-eight-year-old Thea Rizkia opted for the second option, deciding to become a volunteer for the United Nations.
The full-time mother said she worked online translating documents for a UN organization.
Thea regards her volunteer work as an investment, for even though she is not paid, she hopes to reap benefits in other forms.
“It will look good on my CV [curriculum vitae] when I look for scholarships,” she said.
The same is true for Fadillah “Ellie” Yuliasari, 25, who sought out “life balance” in her volunteer work.
Working for a multinational company, Ellie, who is used to being pampered with first-class service at her job, admits she finds balance when she does volunteer work for the Dilts Foundation.
“It also helps me to become an unselfish person,” said Ellie, who has been a full-time volunteer at the foundation for more than five years.
It appears that these volunteers have their own agendas apart from contributing to society.
Dody likens the motivation to Corporate Social Responsibility (CSR) programs set up by companies not only for the advantage of people but also in the interests of stakeholders. “We may call it Individual Social Responsibility,” he said.
Whatever the reasons, Dody highlights the importance of DIY volunteering to respond to poverty and education problems in society.
“We cannot count only on the government and the market doesn’t pay attention to the issue too much because it is not profitable,” he said.
The problem with such volunteer models is they do not last forever, and only come in small sizes.
Dody blames this on the lack of figures that have a strong commitment to making movements sustainable and able to grow.
Indonesia may not have a Bill or Melinda Gates with the resources to create sustainable community
development programs, but the country still has hope with people like Ninik, Reza, Ayu, Thea and Ellie.
Or maybe you?
Judulnya tidak karoan antara Indonesia dan English, namun semoga isinya tidak semerawut seperti judulnya heheeh.
Sejak tahun 2009 saya bersama keluarga mulai membangun perpustakaan komunitas. Perpustakaan yang awalnya di khususkan untuk anak-anak kini semakin berkembang. Pengunjungnya mulai anak usia TK hingga ibu-ibu rumah tangga. Rasa syukur yang tak terhingga dengan perkembangan Community Library (Com Lib) ini, walaupun seadanya.
Awal membuat com lib ini saya sudah langsung membuatkan blogspot ini, sebagai media untuk fundraising dan juga untuk mendapatkan support materi-materi untuk perpustakaan. Dengan dibantu volunter saya berusaha untuk menyisihkan waktu menulis di blog ini. Saya juga membuat group di Facebook, dan mengundang teman-teman yang menurut pandangan saya memiliki keperdulian pada dunia baca.
Dari jejaring sosial tersebut saya mendapat manfaat untuk mengembangkan com lib. Beberapa waktu lalu, ada member com lib yang request Kitab Tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab. Harga untuk edisi yang -abal2- saat itu 600rb untuk 15 jilid. Sempat sharing tentang request ini kepada teman-teman yang tergabung dalam group com lib di FB. ternyata sangat bagus responnya. Beberapa teman menyumbangkan uang untuk membeli kitab ini. Alhamdulillah tidak dalam waktu yang lama kitab tersebut sudah menjadi bagian dari koleksi Com lib.
Beberapa waktu lalu saya kembali bercerita mengenai com lib di timeline twitter. Kurang dari empat jam, banyak sekali respon yang masuk. Bahkan beberapa respon langsung menawarkan untuk membantu menyumbang buku-buku ke com lib. Ada dari Rumah Kenari yang memberikan sumbangan buku-buku untuk anak-anak. Dan beberapa hari lalu ada yang mengirimkan novel-novel ke kantor saya. Pengirimnya Okti, seseorang yang belum pernah saya temui langsung, kami hanya beberapa kali saling mention saja di Twitter.
Inilah kekuatan jejaring sosial. Dan tentu saya akan terus eksis di jejaring sosial, bukan hanya untuk eksistensi saya secara pribadi tapi juga agar semakin banyak orang yang mengenal Community Library, sehingga nantinya mimpi untuk membuat com lib di beberapa tempat bisa tercapai. semoga, Amin.
Yuk ngetwit dan ngefb :)
Sangat terhormat menuliskan tentang dua generasi muda Indonesia yang luar biasa ini untuk rubrik Community Library.
Berawal dari Twitter. Saya adalah salah satu orang yang menyukai jejaring sosial, terutama Facebook. Saya telah menjadi facebooker sejak tahun 2007, saat itu belum terlalu banyak orang Indonesia yang menjadi facebooker. Twitter sebenarnya sudah saya kenal sejak tahun 2009, namun saya tidak bukan aktif tweep. Baru beberapa bulan ini saya kadang-kadang buka twitter. Dua bulanan lalu saya baru mengaktifkan twitter saya di handphone.
Sekitar seminggu lalu saya iseng menulis twitter dengan mention Pak Anies Baswedan, beliau adalah salah satu tokoh yang saya kagume. Salah satu terobosan terbaru dari beliau adalah "Pengajar Muda,' yakni mengirimkan generasi muda untuk mengajar SD di pelosok negeri. Dalam timeline tersebut saya menuliskan tentang Community Library saya di Banyuwangi.
Dua kali postingan di twitter tersebut ternyata mendapat banyak respon. Ada @rumah_kenari, @ayuwindiya, @dnurrahmawati, @RizalArryadi, @aghla, dan @CatatanBunda memberikan respon baik. Kebanyakan mereka menawarkan untuk membantu Community Library dengan mendonasikan buku.
Setelah proses DM di Twitter, lalu saling tukar nomor telfon dan kemudian janjian, akhirnya tadi 8 November 2011 saya bertemu dengan yangbahurekso 'Rumah Kenari', kami janjian di Plaza Semanggi. Yang ada dalam bayang saya saat itu pengelola RK adalah bapak-bapak atau eksekutif muda. Ternyata saat bertemu langsung bayangan saya langsung rontok.
Reza Pahlevi dan Ayu datang menemui saya. Umur mereka baru sekitar di middle dua puluhan. Gayanya masih khas ABG. Namun ketika mengobrol dengan mereka lebih jauh, kesan pemikiran ABG dari mereka berdua hilang, tergantikan dengan semangat generasi muda.
Reza dari Solo dan Ayu dari Sunda. Mereka berdua bekerja di kantor yang sama. Berawal dari keinginan untuk berbuat sesuatu kepada masyarakat mereka menginisiasi RK ini. "Dulu sih kami berpikir untuk bisa membuat perpustakaan sendiri, atau mengajar di masyarakat, tapi semua terbentur dengan jadwal kerja mbak," kata Reza. Dari kondisi waktu yang terbatas inilah mereka berpikir untuk mewujudkan keinginan berbagi dengan masyarakat melalui donasi buku kepada perpustakaan-perpustakaan di daerah.
Saat saya tanya dari mana mereka mendapatkan dana? mereka berdua langsung tertawa, "Ya kami ambil dari gaji kami yang tidak seberapa ini, plus -memalak- teman2 kantor hehe, lebih banyaknya sih dari gaji mbak." Aku tertegun dan terkesima. Ini luar biasa sekali. Mereka orang muda, tinggal di Jakarta, namun tidak terbawa hedonisme metropolitan, malahan mereka memiliki orientasi ke depan yang sangat maju.
Ayu bercerita kalau seringkali teman-teman kantornya membantu mereka, "Ada yang ngasih uang mbak, ada yang bantu hunting buku, dan mereka juga senang bantu kami untuk sortir buku-buku." Reza dan Ayu sangat menghargai bantuan dari teman-temannya walaupun kecil. "Mereka tidak bantu uang tidak masalah mbak. Dari kemauan mereka untuk support kita belanja, dan sortir buku saja sudah menunjukkan keperdulian mereka," jelas Reza.
"Jadi RK ini personilnya siapa saja," saya bertanya dengan penasaran. Reza dan Ayu saling pandang, "Ya cuman kami berdua" jawab mereka serempak sambil tertawa terbahak. DUA JEMPOL DEH.
Melihat Reza dan Ayu menjadikan saya kembali optimis menatap Indonesia ke depan. Ternyata masih banyak generasi muda yang memiliki orientasi kemasyarakatan dan mau berbagi. Andaikan lebih banyak lagi Ayu dan Reza, tentu pendidikan Indonesia semakin maju. Proud of you both.
Dari RK, Community Library mendapatkan banyak buku-buku anak, mulai ensiklopedia, seri ceria pahlawan Indonesia, buku-buku gambar, dan ada juga buku seri tentang Asia dan Australia. Pasti anak-anak pembaca buku community Library akan sangat senang dengan koleksi baru.