Kamis, 06 September 2012

Satu Semangat "PERUBAHAN"


Menghabiskan waktu istirahat sekolah dg membaca
Mungkin semangat “Perubahan” yang menjadi kunci kenapa hingga detik ini, pasukan dari Perpustakaan Komunitas tidak pernah berhenti untuk membangun jejaring dan mengembangkan perpustakaan komunitas. Perubahan untuk menjadi lebih baik, perubahan untuk generasai lebih pintar, perubahan untuk masyarakat yang lebih melek ilmu dan tentu perubahan untuk kehidupan lebih baik. Mimpi untuk melihat perubahan-perubahan itulah yang seperti injeksi tidak pernah padam memompa semangat kami.

Sampai saat ini perpustakaan komunitas masih menempati ruangan mungil berukuran 3x4 meter. Satu lemari besar dan rak buku bertingkat sudah tidak mampu lagi memuat koleksi perpustakaan. Sehingga beberapa koleksi terpaksa harus disimpan di lemari dalam kamar. Keinginan untuk memindahkan perpustakaan ke tempat yang lebih besar sudah lama diimpikan, namun belum menemukan tempat strategis yang bisa diakses oleh pembaca dari kalangan perempuan dan laki-laki. Letak perpustakaan komunitas yang berada di lingkungan Pondok Pesantren Darussalam memang harus mengikuti peraturan pesantren dan kebetulan posisi perpustakaan komunitas berada di jalur putri, sehingga pembaca laki-laki kesulitan untuk mendapatkan akses. 

Kebuntuan dari persoalan tempat ini semakin parah ketika pada musim-musim liburan atau hari minggu saat anak-anak kecil yang merupakan pembaca setia perpustakaan komunitas berkumpul. Biasanya dalam ruangan yang sempit itu akan menumpuk hingga 10 orang pengunjung, tentu sangat tidak kondusif. Bila sudah seperti ini biasanya pembaca remaja akan mengalah dan mencari jadwal lain untuk mengunjungi perpustakaan komunitas.

Terfikirkan untuk memisahkan perpustakaan untuk anak-anak dan perpustakaan untuk pembaca dewasa, agar nantinya anak-anak bisa lebih leluasa mengeksplore perpustakaan, dan pembaca dewasa juga tidak merasa tergannggu dengan kegaduhan. Tapi lagi-lagi harus berhitung dengan banyak hal, mulai berhitung tempat strategis hingga berhitung budget.
SALAM Newsletter

Namun dengan kondisi yang serba terbatas tersebut, perpustakaan komunitas tetap berjalan, pengelola tetap melakukan usaha untuk meningkatkan koleksi perpustakaan komunitas. Pada awal bulan Agustus, Perpustakaan Komunitas mendapatkan kiriman sumbangan SALAM newsletters dari The Asian Muslim Action Network (AMAN INDONESIA). Newsletter tersebut berisi tentang kegiatan sekolah perempuan yang dilakukan oleh AMAN di beberapa daerah di Indonesia. Tentunya sumbangan ini sangat berharga buat perpustakaan komunitas yang notabene pembacanya banyak perempuan.

Kiriman dari 1001 BUKU
Perpustakaan komunitas juga telah bergabung ke 1001 BUKU, dan tepat di hari terahir puasa Ramadhan tahun ini, Perpustakaan Komunitas mendapatkan kiriman buku-buku, majalah, novel dan lain-lain. Kebanyakan koleksi sumbangan dari 1001 BUKU untuk anak-anak dan remaja. Alhamdulillah, ini benar-benar berkah Ramadhan Karim.

Mari terus bergerak bersama untuk melakukan “PERUBAHAN,” Bila kita tidak bergerak, siapa yang akan merubah masyarakat kita menjadi lebih baik???

Salam PERUBAHAN

Jumat, 24 Agustus 2012

“Date a girl who reads. Date a girl who spends her money on books instead of clothes. She has problems with closet space because she has too many books. Date a girl who has a list of books she wants to read, who has had a library card since she was twelve.”
Brain Pickings




Photograph: Hulton-Deutsch Collection/CORBIS

Minggu, 01 Januari 2012

LIBUR TELAH TIBA


Ya libur telah tiba, libur akhir tahun sekaligus libur semester. Perpustakaan komunitas semakin rame jika liburan telah tiba, yang biasanya setiap harinya pengunjung hanya lima orang memasuki hari libur perpus belum buka pun didepan pintu sudah banyak anak-anak kecil yang sudah tidak sabar menunggu pintu perpustakaan dibuka. Padahal jam baru menunjukkan jam 6.30, petugas perpusatakaan belum datang, perpustakaan masih dibersihkan dan pengelola perpustakaan masih sibuk nyuapin makan bayinya tapi melihat begitu antusiasnya para pengunjung penjung komunitas pagi itu akhirnya perpustakaan buka lebih pagi dari biasanya.

Senang sekali rasanya melihat perpustakaan ramai dengan anak-anak kecil yang berebutan buku, ada juga yang duduk dipojokan dengan khusu’ membaca buku cerita dengan terbata-bata dan suara yang nyaring maklum karena anak ini masih kelas 1 SD jadi bacanya belum lancar. Ada juga yang hanya membolak balik halaman buku hanya untuk melihat gambarnya tanpa membaca. Beberapa anak mengembalikan buku yang sudah dibacanya dirumah, kebanyakan mereka meminjam buku seri tokoh kepahlawanan sumbangan dari rumah kenari dan beberapa cerita bergambar tentang pesantren, sumbangan dari common ground.

Jam menunjukkan pukul 09.00 WIB dan perpustakaan semakin ramai karena kedatangan member remaja yang sudah duduk di sekolah lanjutan ataupun yang sudah kuliah. Karena ujian telah usai, jadi semakin banyak saja para member perpustakaan komunitas yang memnijam buku ataupun menghabisakan waktu luan di perpustakaan komunitas. Ada satu hal menarik kemarin, biasanya para member remaja selalu menuju rak majalah remaja ataupun novel pop tapi kemarin ada satu member yang masih duduk di bangku kelas SLTA memnijam novel bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Rasanya takjub sekaligus kaget, dari sekian banyak remaja berkebudayaan facebook ada satu yang masih mau meluangkan waktunya membaca karya sastra indonesia tingkat tinggi. Bahkan dia berjanji pada petugas perpus untuk menyelesaikan membaca novel itu dalam jangka waktu tiga hari, WOW.

Alhamdulillah akhirnya perpustakaan komunitas bisa menyediakan sesuatu yang bermanfaat untuk mengisi waktu liburan para member perpustakaan. Semoga liburan kali ini lebih bermakna dan menyenangkan dengan membaca buku.

HAVE A NICE HOLIDAY DEAR MEMBER COM LIBRARY...

Jumat, 02 Desember 2011

Community Library in The Jakarta Post

Helping society one’s own way

Ika Krismantari, The Jakarta Post, Jakarta | Wed, 11/30/2011 11:11 AM
A | A | A |

Making a difference: The Dilts Foundation assists impoverished people in Jakarta’s slums, including creating activities for kids. Courtesy of Dilts FoundationMaking a difference: The Dilts Foundation assists impoverished people in Jakarta’s slums, including creating activities for kids. Courtesy of Dilts FoundationYou don’t need to be Bill or Melinda Gates to make the world a better place, with brave and committed figures throughout the world willing positive change in their own communities.

One of those individuals is Nihayatul Wafiroh.

Nihayatul, or Ninik as her friends call her, is a 32-year-old working mom from Banyuwangi, East Java.

She may look like an ordinary woman, but not for the people of Tegalsari village.

In her hometown, Ninik is running a community library where everyone from kids to mothers can gather to read books and magazines.

Ninik established the library in 2009 after she returned from the US with a master’s degree.

“I wanted to do something for my community but I didn’t have enough money to establish a home industry,” she said of her reason for setting up the library.

With a little money, Ninik and her husband built a small library in a 16-square-meter room in her home.

Starting with 500 books, the library now has thousands, mostly from Ninik’s own collection and from donations.

The woman, who works for a non-governmental organization in Jakarta, told The Jakarta Post she spends up to Rp 500,000 (US$55) of her own money every month to buy new books.

But money has never been the issue for Ninik when it comes to running the library.

Her strong commitment to empowering her neighbors, especially women and kids, seems to be her major drive with the library.

Good thing Ninik is not alone, there is also a younger generation that shares the same spirit.

Meet 25-year-old Reza Pahlevi, who established Rumah Kenari, an organization that promotes reading through free book distribution and community libraries.

Reza had the idea with some friends in Surakarta, Central Java, in July of 2008. But, the organization had to cease operating because the members were busy with their own lives, including Reza, who moved to Jakarta for work.

Hoping to continue the mission, Reza, who works as a linguist for a private company, asked his colleague Nurhadianty Rahayu, or Ayu, to start Rumah Kenari again in early 2010.

The new Rumah Kenari has expanded its distribution to Indonesian border areas through partnerships with several organizations. Not only that, the books they have on hand have also increased from dozens to hundreds under Reza and Ayu’s leadership.

The amazing thing about Rumah Kenari is that these young people support the organization with their own money.

Reza told the Post they spend between Rp 500,000 and Rp 1 million every month to buy books.

Both Reza and Ayu don’t seem to mind spending the money as they are looking for something bigger.

“Our motivation is simple: we want to become people who are useful to the community … doing something for their surroundings even though it is small,” Reza said, explaining that such spirit embodied Rumah Kenari, which is a short for Rumah Kecil Namun Berarti (A Small but Meaningful House).

Ninik, Reza and Ayu’s activities demonstrate that doing something for society doesn’t always have to be about giving money, but also about spirit and commitment.

In social work, what the three people are doing is known as do-it-yourself (DIY) volunteering or independent volunteering, where individuals or groups initiate their own volunteer projects.

University of Indonesia social expert Dody Prayogo said the movement emerged from people’s disappointment with the government’s failures to tackle social ills.

“It helps the government to fill its weaknesses,” said Dody, who specializes in community development.

According to Dody, DIY volunteering has existed for a long time in Indonesia, where people have a strong sense of togetherness.

Movable: Children look at books at a mobile library in Jakarta on July 16. Some individuals are helping local communities by creating community libraries so children and adults can have access to reading materials. JP/P.J. LeoMovable: Children look at books at a mobile library in Jakarta on July 16. Some individuals are helping local communities by creating community libraries so children and adults can have access to reading materials. JP/P.J. Leo“Romo Mangun and his project at the Code River during the New Order is one example,” Dody said of a DIY volunteering project by the architect that empowered people living along the Code River in
Yogyakarta.

Dody has noticed a recent surge in independent grassroots social movements, pointing out the establishment of non-formal early childhood centers (PAUD) in almost every community stemming from increasing social awareness.

The trend can also be seen in volunteer activities initiated by people following natural disasters, or solidarity movements in response to certain issues on social media.

Yet, DIY volunteering doesn’t always mean people setting up their own initiatives. It can be as simple as volunteering for a foundation.

Twenty-eight-year-old Thea Rizkia opted for the second option, deciding to become a volunteer for the United Nations.

The full-time mother said she worked online translating documents for a UN organization.

Thea regards her volunteer work as an investment, for even though she is not paid, she hopes to reap benefits in other forms.

“It will look good on my CV [curriculum vitae] when I look for scholarships,” she said.

The same is true for Fadillah “Ellie” Yuliasari, 25, who sought out “life balance” in her volunteer work.

Working for a multinational company, Ellie, who is used to being pampered with first-class service at her job, admits she finds balance when she does volunteer work for the Dilts Foundation.

“It also helps me to become an unselfish person,” said Ellie, who has been a full-time volunteer at the foundation for more than five years.

It appears that these volunteers have their own agendas apart from contributing to society.

Dody likens the motivation to Corporate Social Responsibility (CSR) programs set up by companies not only for the advantage of people but also in the interests of stakeholders. “We may call it Individual Social Responsibility,” he said.

Draw me: Dilts volunteers hold a drawing class for impoverished children in Jakarta.Draw me: Dilts volunteers hold a drawing class for impoverished children in Jakarta.Whatever the reasons, Dody highlights the importance of DIY volunteering to respond to poverty and education problems in society.

“We cannot count only on the government and the market doesn’t pay attention to the issue too much because it is not profitable,” he said.

The problem with such volunteer models is they do not last forever, and only come in small sizes.

Dody blames this on the lack of figures that have a strong commitment to making movements sustainable and able to grow.

Indonesia may not have a Bill or Melinda Gates with the resources to create sustainable community
development programs, but the country still has hope with people like Ninik, Reza, Ayu, Thea and Ellie.

Or maybe you?

Rabu, 16 November 2011

The Magic of Jejaring Sosial

Judulnya tidak karoan antara Indonesia dan English, namun semoga isinya tidak semerawut seperti judulnya heheeh.

Sejak tahun 2009 saya bersama keluarga mulai membangun perpustakaan komunitas. Perpustakaan yang awalnya di khususkan untuk anak-anak kini semakin berkembang. Pengunjungnya mulai anak usia TK hingga ibu-ibu rumah tangga. Rasa syukur yang tak terhingga dengan perkembangan Community Library (Com Lib) ini, walaupun seadanya.

Awal membuat com lib ini saya sudah langsung membuatkan blogspot ini, sebagai media untuk fundraising dan juga untuk mendapatkan support materi-materi untuk perpustakaan. Dengan dibantu volunter saya berusaha untuk menyisihkan waktu menulis di blog ini. Saya juga membuat group di Facebook, dan mengundang teman-teman yang menurut pandangan saya memiliki keperdulian pada dunia baca.

Dari jejaring sosial tersebut saya mendapat manfaat untuk mengembangkan com lib. Beberapa waktu lalu, ada member com lib yang request Kitab Tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab. Harga untuk edisi yang -abal2- saat itu 600rb untuk 15 jilid. Sempat sharing tentang request ini kepada teman-teman yang tergabung dalam group com lib di FB. ternyata sangat bagus responnya. Beberapa teman menyumbangkan uang untuk membeli kitab ini. Alhamdulillah tidak dalam waktu yang lama kitab tersebut sudah menjadi bagian dari koleksi Com lib.

Beberapa waktu lalu saya kembali bercerita mengenai com lib di timeline twitter. Kurang dari empat jam, banyak sekali respon yang masuk. Bahkan beberapa respon langsung menawarkan untuk membantu menyumbang buku-buku ke com lib. Ada dari Rumah Kenari yang memberikan sumbangan buku-buku untuk anak-anak. Dan beberapa hari lalu ada yang mengirimkan novel-novel ke kantor saya. Pengirimnya Okti, seseorang yang belum pernah saya temui langsung, kami hanya beberapa kali saling mention saja di Twitter.

Inilah kekuatan jejaring sosial. Dan tentu saya akan terus eksis di jejaring sosial, bukan hanya untuk eksistensi saya secara pribadi tapi juga agar semakin banyak orang yang mengenal Community Library, sehingga nantinya mimpi untuk membuat com lib di beberapa tempat bisa tercapai. semoga, Amin.

Yuk ngetwit dan ngefb :)

Selasa, 08 November 2011

Rumah Kenari



Sangat terhormat menuliskan tentang dua generasi muda Indonesia yang luar biasa ini untuk rubrik Community Library.

Berawal dari Twitter. Saya adalah salah satu orang yang menyukai jejaring sosial, terutama Facebook. Saya telah menjadi facebooker sejak tahun 2007, saat itu belum terlalu banyak orang Indonesia yang menjadi facebooker. Twitter sebenarnya sudah saya kenal sejak tahun 2009, namun saya tidak bukan aktif tweep. Baru beberapa bulan ini saya kadang-kadang buka twitter. Dua bulanan lalu saya baru mengaktifkan twitter saya di handphone.

Sekitar seminggu lalu saya iseng menulis twitter dengan mention Pak Anies Baswedan, beliau adalah salah satu tokoh yang saya kagume. Salah satu terobosan terbaru dari beliau adalah "Pengajar Muda,' yakni mengirimkan generasi muda untuk mengajar SD di pelosok negeri. Dalam timeline tersebut saya menuliskan tentang Community Library saya di Banyuwangi.

Dua kali postingan di twitter tersebut ternyata mendapat banyak respon. Ada @rumah_kenari, @ayuwindiya, @dnurrahmawati, @RizalArryadi, @aghla, dan @CatatanBunda memberikan respon baik. Kebanyakan mereka menawarkan untuk membantu Community Library dengan mendonasikan buku.

Setelah proses DM di Twitter, lalu saling tukar nomor telfon dan kemudian janjian, akhirnya tadi 8 November 2011 saya bertemu dengan yangbahurekso 'Rumah Kenari', kami janjian di Plaza Semanggi. Yang ada dalam bayang saya saat itu pengelola RK adalah bapak-bapak atau eksekutif muda. Ternyata saat bertemu langsung bayangan saya langsung rontok.

Reza Pahlevi dan Ayu datang menemui saya. Umur mereka baru sekitar di middle dua puluhan. Gayanya masih khas ABG. Namun ketika mengobrol dengan mereka lebih jauh, kesan pemikiran ABG dari mereka berdua hilang, tergantikan dengan semangat generasi muda.

Reza dari Solo dan Ayu dari Sunda. Mereka berdua bekerja di kantor yang sama. Berawal dari keinginan untuk berbuat sesuatu kepada masyarakat mereka menginisiasi RK ini. "Dulu sih kami berpikir untuk bisa membuat perpustakaan sendiri, atau mengajar di masyarakat, tapi semua terbentur dengan jadwal kerja mbak," kata Reza. Dari kondisi waktu yang terbatas inilah mereka berpikir untuk mewujudkan keinginan berbagi dengan masyarakat melalui donasi buku kepada perpustakaan-perpustakaan di daerah.

Saat saya tanya dari mana mereka mendapatkan dana? mereka berdua langsung tertawa, "Ya kami ambil dari gaji kami yang tidak seberapa ini, plus -memalak- teman2 kantor hehe, lebih banyaknya sih dari gaji mbak." Aku tertegun dan terkesima. Ini luar biasa sekali. Mereka orang muda, tinggal di Jakarta, namun tidak terbawa hedonisme metropolitan, malahan mereka memiliki orientasi ke depan yang sangat maju.

Ayu bercerita kalau seringkali teman-teman kantornya membantu mereka, "Ada yang ngasih uang mbak, ada yang bantu hunting buku, dan mereka juga senang bantu kami untuk sortir buku-buku." Reza dan Ayu sangat menghargai bantuan dari teman-temannya walaupun kecil. "Mereka tidak bantu uang tidak masalah mbak. Dari kemauan mereka untuk support kita belanja, dan sortir buku saja sudah menunjukkan keperdulian mereka," jelas Reza.

"Jadi RK ini personilnya siapa saja," saya bertanya dengan penasaran. Reza dan Ayu saling pandang, "Ya cuman kami berdua" jawab mereka serempak sambil tertawa terbahak. DUA JEMPOL DEH.

Melihat Reza dan Ayu menjadikan saya kembali optimis menatap Indonesia ke depan. Ternyata masih banyak generasi muda yang memiliki orientasi kemasyarakatan dan mau berbagi. Andaikan lebih banyak lagi Ayu dan Reza, tentu pendidikan Indonesia semakin maju. Proud of you both.

Dari RK, Community Library mendapatkan banyak buku-buku anak, mulai ensiklopedia, seri ceria pahlawan Indonesia, buku-buku gambar, dan ada juga buku seri tentang Asia dan Australia. Pasti anak-anak pembaca buku community Library akan sangat senang dengan koleksi baru.

Selasa, 01 Maret 2011

"Aku Hanya Punya Segini"

Ada seorang temen saya yang sebenarnya dulu kami satu desa, dan memiliki cerita masa anak-anak di tempat-tempat yang sama di desa kami. Dan sewaktu saya S1 kami memiliki aktivitas yang sama yakni di LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) walaupun kami berasal dari universitas yang berbeda. Bahkan universitas kami berbeda pulau. Namun karena kami dihubungkan dengan organisasi perm mahasiswa se-Indonesia maka teman-teman kami berada di llingkaran yang sama.

Namun sayangnya walaupun kami dihubungkan dengan banyak kesamaan tapi Tuhan ternyata baru mempertemukan kami beberapa tahun lalu, itupun awalnya dari dunia maya. Kami baru menyadari bahwa dunia kami sebenarnya sangat dekat, cuman pertemuan fisik baru terjadi baru-baru ini, ya sekitar dua tahun lalu. Mungkin karena kesamaan dan memori serta lingkaran yang tidak berbeda akhirnya kami cepat akrab. Dia orang yang sangat terbuka dengan pengembangan masyarakat, bahkan dia sangat support dengan banyak ide-ide saya untuk mengembangkan masyarakat, terutama dengan perpustakaan komunitas ini. Sayang saya teah berjanji dengan dia untuk tidak menyebutkan nama.

Saat saya menceritakan tentang mimpi idealis saya ini, dia serta merta langsung bilang, "Aku akan jadi donatur tetapmu setiap bulan." Saya langsung girang bukan kepalang. Lalu dia menegaskan "Tapi aku hanya punya segini, jadi setiap bulannya aku hanya bisa memberi segini." Saya tahu dia bukan bos, dia masih menjadi pekerja kantoran yang gajinya tentunya tidak setinggi langit. tapi saya kagum dengan dia ketika dengan gaji segitu dia masih mau menyisihkan sedikit uangnya untuk membantu perpustakaan komunitas. selama ini dia tidak pernah telat mentransfer uangnya ke rekening BCA. Kadang kalau punya uang lebih, jumlah uang yang ditransfernya juga akan ditambahi. Dengan uangnya dari dia dan tentunya uang dari saya sendiri, saya bisa menambah koleksi perpustakaan komunitas ini setiap bulan, dan memantain perpustakaan ini.

Saya tidak pernah melihat jumlah uang dan bentuk bantuan yang diberikan, bahkan nasehat dan kritik juga sangat saya hargai. Karena bagaimanapun ketika saya memiliki banyak teman yang mensupport perpustakaan ini maka kesempatan saya untuk mengembangkan dan memperbaiki perpustakaan ini semakin terbuka lebar. Bukankah jalinan silaturrohmi akan membuka pintu rezeki?

Terimakasih untuk semua supportnya